Hujan dari jam 3.30 wib pagi, masih saja mengguyur kota jakarta. Pagi ini aku harus berangkat mengajar.
“ Duh bagaimana caranya berangkat ke sekolah kalau hujan masih saja deras begini?”, kata ku dalam hati penuh dengan kebingungan.
Malasnya aku berangkat, membayangkan harus ganti-ganti mobil angkutan umum di tengah hujan deras begini.
“Ya Allah semoga hujan ini reda…”, doa ku dalam hati.
Jam 5.30 wib hujan mulai reda, hanya tinggal gerimis sebagai sisa-sisa hujan.
“Kalau jam begini berangkat ke sekolah naik angkutan umum, bisa-bisa aku telat sampai di sekolah nich”,pikirku
“Bagaimana ya caranya biar ga telat?”. Akhirnya ku minta tolong pada suami untuk diantarkan ke sekolah.
Dia tanya ,”benar mau diantarkan?”.
“Ya…. Iyalah, mang kenapa?”,tanya ku binggung.
“Gerimis begini naik vespa ke sekolah?”, tanya suami ku lagi.
“Ya…. Kan pakai jas hujan”, sahut ku.
“Nah itu masalahnya. Jas hujan cuma satu. Yang satunya lagi sudah sobek dan sudah kamu buang”, jawab suamiku.
“Terus gimana dong kalau naik angkutan umum aku bakal terlambat”, rengek ku.
“Ya udah kamu pakai jaket hujannya, aku pakai celana hujannya”, suamiku memberikan solusi.
“Aaaahhhh ?????????”, aku semakin bingung. Apa gunannya pakai jaket hujan kalau rokku akan basah juga dan buat apa pakai celana hujan doang kalau baju dia basah juga nantinya.
“Ya.. udah dipakai, mau berangkat ga”, tegur suamiku membuyarkan kebingungan ku.
“Ya….. tapi….”, tiba-tiba mulut ku terhenti untuk meneruskan kalimat berikutnya, ketika ku lihat dia mengeluarkan plastik hitam yang lebar. Yang biasa digunakan untuk menutupi barang dagangannya di motor kalau hari hujan.
“Ambil ini “, kata suamiku.
“Untuk apa?”, tanya ku sambil mengerutkan dahi.
“Ya untuk kamu pakai”, jawab suamiku, sambil memakai jaket dari bahan jeans.
“Apa ??????”, setengah ga percaya dan geli aku bertanya.
“Iya dipakai, buat nutupin rok kamu biar tidak basah”, suamiku menjelaskan maksudnya menyuruhku pakai plastik hitam itu.
“Ga…. Mau, biar ku pakai jaket jeans aja dan jaket hujan ini buat nutupin rokku”,tolak ku.
“Udah pakai saja, jaket jeans itu tidak akan mampu menutupi bajumu dari air, nanti bajumu basah dibuatnya dan kamu masuk angin”,kata suamiku.
“Tapi inikan cuma gerimis”, bantah ku lagi.
“Walaupun cuma gerimis, tapi perjalanannya jauh, bajumu bisa basah juga”, jelas suamiku.
Dengan perasaan terpaksa dan kesal, ku pakai juga plastik hitam itu untuk menutupi rok ku.
Sepanjang perjalanan aku tidak bisa menahan rasa malu dan geli serta ketawa.
“Tapi kenapa aku harus malu, bukankah mukaku, aku tutup dengan sapu tangan. Dan tidak ada seorangpun yang akan mengenalku’, hiburku dalam hati.
Namun tetap saja rasa malu itu masih bercokol di hati ini. Ku lihat suamiku cueks bangat dengan kejadian ini. Tidak ada rasa malu dan aneh baginya, seperti yang kurasakan. Apa karena dia sudah biasa membawa barang dagangan yang ditutupi dengan plastik hitam ini. Sehingga dia merasa seperti membawa barang dagangan saat ini.
“Hahahahahahahaha….”, akhirnya ku tak bisa menahan ketawa, karena membayangkan ini semua. Tiba-tiba suami ku menoleh ke belakang dan bertanya,
“Kenapa ketawa?”. Dan ku jawab “ga apa-apa”.
Dan sepanjang perjalanan juga aku tidak bisa tenang, kaya cacing kepanasan. Karena plastik yang ku pakai beberapa kali hampir diterbangkan oleh angin. Belum lagi aku harus angkat kaki biar sepatu ku tidak basah, bila vespa butut kebanggaan kami harus melewati genangan air di jalan.
“Kenapa tadi ga pakai sendal saja”, tanya suamiku, karena di lihatnya aku begitu kerepotan ngangkat kaki mulu bila ada genangan air.
“Lupa “, jawab ku sekenanya.
Akhirnya suamiku minggirkan motornya.
“Sekarang buka saja tu sepatunya, masukkan ke dalam plastik ini”, suruh suami ku.
Aku terkejut, bukan karena disuruh buka sepatu. Tapi lagi-lagi suamiku mengeluarkan plastik hitan tapi ini agak kecil. Akhirnya ku buka sepatuku sambil berfikir, apakah suamiku sekarang ganti dagangannya. Apa karena hari hujan sekarang dia jadi tukang jualan plastik ya. Kenapa banyak bangat plastinya di vespa dan semuanya berwarna hitam dengan ukuran yang berbeda.
“hahahahahahaha……..”, aku ketawa kerena pikiranku mulai usil.
“Kenapa kaos kakinya ga dibuka, nanti ikut basah”, tanya suamiku
“Ga usah, aku bawa kaos kaki sepasang lagi ko di dalam tas”, jawabku.
Dan untuk kali inipun aku tidak bisa menahan ketawa. Ketawa begitu menyadari betapa begonya diri ini. Kenapa ga kepikir pakai sendal. Malah kepikir bawa kaos kaki sepasang lagi.
“Hahahaha benar-benar begonya aku”.
Sampai di Matraman palstiku hampir lepas lagi dari peganganku. Ku lihat ada pengendara motor lain di belakangku. Otak usilku mulai beraksi membayangkan kalau seandainya plastik hitam ini benar-benar lepas dan terbang menutupui muka orang tersebut. Bagaimana jadinya ya. Wah bakal terjadi insiden berdarah nich, gara-gara plastik hitam. Tentu aku akan masuk penjara hanya gara-gara plastik hitam ini. Waduh apa kata orang-orang nantinya kalau berita ini sampai keluar di acara kriminal di TV atau di tulis di koran kriminal bagian depan. Dengan huruf besar di tuliskan judulnya “ SEORANG GURU MASUK PENJARA KARENA PLASTIK HITAMNYA TERBANG”
“hahahahahaha…..”, ku ketawa sendiri di belakang. Benar-benar ga kebanyang sama ku kalau itu sampai terjadi.
Wah ternyata aku tidak sendirian pakai plastik sebagai pelindung dari air hujan. Ada tukang sayur, tukang ojek, tukang roti dan tukang koran. Cuma plastiknya beda warna dengan plastikku. Mereka pakai plastik warna bening dan putih
Hahahahaha…. Aku senang dapat teman seperjuangan dalam berplastik ria.
Dilampu merah Matraman kulihat loper koran berhenti dan turun dari motornya. Dia sibuk memisah-misahkan korannya yang basah dan yang tidak. Hampir 1/3 korannya hancur kena air hujan. Kasihan juga ku melihatnya.
“Makanya bang pakai plastik hitam yang tebal dan lebar biar aman”, kataku dalam hati.
Begitu sampai di Manggarai ku lihat seorang bapak-bapak mengendarai motor memakai jas hujan dengan cara aneh. Masa dia lebih menutupi tasnya di belakang sementara tubuhnya dibagian depan cuma ditutupi sampai dada saja. Bukankah dia akan menghadang air dari depan???… wah bapak ini ternyata tidak kreatif bangat. Demi tas dia rela basah-basah dan dadanya tidak terlindungi dari angin dan hujan. Apa itu tidak berbahaya bagi kesehatannya. Lebih baik itu tas dibungkus pakai plastik.
Benar-benar deh bapak ini, sebegitunya pengorbanannya pada tas.
“Apa isi tas itu ya”, tanyaku dalam hati.
Kaki ku yang dari tadi kena jempretan air mulai terasa dingin. ku lihat seseorang mengendarai sepeda dengan santainya di tengah gerimis yang mulai deras. Dia memakai sandal dari karet yang bagian depannya tertutup. Tentu hangat kali ya kalau kaki ku dibungkus pakai sandal itu. Otak ku mulai lagi menghayal. Ku membayangkan melompota dari motor yang jalannya pelan terus ku hentikan pengendara sepeda dan kurampas sendalnya. Lalu ku berlari lagi naik motor.
“Hahahahahaha…..”, sekarang yang menghayal bukan pikiran usil lagi tapi pikiran kriminalku.
Melihat kaki ku tidak diam suamiku bertanya” ada apa lagi?”.
“Kaki ku kedinginan”, jawabku
“Ooo… bungkus pakai plastik aja “, suruh suamiku sambil menyodorkan plastik hitam berikutnya dengan sebelah tangannya, karena dia tetap mengendarai vespa.
“Apa??????… plastik hitam lagi?”, aku benar-benar mendapat supreis pagi ini.
“ga mau… biar aja kaya gini ga usah dibungkus lagi”, tolak ku.
“Emang aku ini apaan sii masa hampir separuh tubuhku di bungkus pakai palastik”, gumanku dalam hati.
Di sebuah halte di daerah tebet ku lihat ada murid ku lagi nongkrong di sana. Kayanya dia lagi menunggu mobil angkutan umum yang akan mengantarkan dia ke sekolah. Aku melintas di depannya tapi dia tidak mengenalku. Pikirku kalau jam segini masih saja di halte apa tidak terlambat nantinya sampai di sekolah????.
Begitu mendekati persimpangan di pancoran jalan mulai macet. Orang-orang kelihatan buru-buru semua. Tapi jumlah pengendara motor sedikit. Tidak seperti biasanya, apa karena hujan ya. Mobil angkutan umum padat bangat penumpangnya seperti mau miring sebelah karena jumlah penumpang tidak lagi sesuai kuota. Biasanya mobil angkutan yang seperti ini aku temui di waktu jam pulang kantor alias sore hari bukan pagi jam 6.10 wib ini.
Gerimis pagi ini semakin bertambah deras saja. Kalau suamiku tetap mengantarkan ku sampai ke sekolah bisa-bisa dia kehujanan. Ku lihat tanda-tanda hari akan hujan deras lagi.
“Bang…. Aku naik mobil umum saja dari sini”, kataku. Waktu itu masih di daerah pancoran. “ Ga usah, biar di antar sampai ke sekolah. Gimana mau naik angkutan jalan macet begini. Kamunya akan terlambat”, jawab suamiku.
“iya juga ya, percuma juga ku di antar kalau akhirnya aku tetap terlambat”, sambil berfikir begitu melintas anak muridku didepanku. Jarak kami hanya satu langkah. Dia mau naik angkutan umum tapi anehnya dia tidak mengenal dan melihat aku. Di sampingku hanya terhalang oleh 2 kendaraan muridku yang lain sedang mengendarai motor juga tidak mengenalku. Apa pagi ini orang pada serius semua ya atau apa mereka pada sibuk memikirkan diri sendiri sehingga tidak peduli di sekelilingnya. Hanya aku saja yang sibuk mikirin yang aneh-aneh dari tadi, seperti kurang kerjaan di pagi hari. Begitu mendekati mampang ku lihat seorang bapak-bapak mengendarai motor dengan keranjang yang penuh berisi rambutan di belakangnya. Dia mengendarai tepat di sampingku.
“Wah rambutannya kayanya manis-manis nich, kalau aku ambil beberapa buah apa ya reaksi reaksi bapak ini’, pikirku dalam hati sambil mataku terus aja menatap buah rambutan yang segar-segar. Ternyata si bapak memperhatikan aku juga. Jangan-jangan si bapak ini tahu isi pikiranku, makanya dia melihat ku terus. Seperti orang yang sedang mengawasi kebunnya.
“Walah bapak, saya kan cuma menghayal bukan ingin melakukannya. Daripada BT duduk di belakang di tengah gerimis yang mulai deras. Mencoba mengusir rasa dingin ini dengan menghayal. Tenang pak ga usah takut rambutannya tidak akan saya ambil ko”, gerutuku dalam hati sambil tersenyum.
Tak teras aku hampir sampai di sekolah. Kira-kira 300 meter dari sekolah ku minta suami ku untuk berhenti di sebuah pekarangan kantor yang belum dibuka. Aku ingin mengganti kaos kaki dan pakai sepatu. Sekalian membuka plastik hitam yang ku pakai untuk menutupi rokku.
Leganya akhirnya aku terbebas dari plastik hitam. Sekarang aku baru bisa bersyukur dan berterima kasih pada inisiatif suamiku. Karena plastik hitamnyalah rok ku terbebas dari basah karena gerimis. Perjalanan ku dari rumah sampai ke sekolah yang ku tempuh 45 menit berakhir di pintu gerbang sekolah. Anak-anak menyambutku dengan sapaan dan salam. Di pagi yang dingin ini aku hadirkan senyum pagi ku untuk mu, my student.
*THE END*
Jumat, 19 Februari 2010
HUJAN DAN PLASTIK HITAM
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar