Sebenarnya ini adalah bentuk keprihatinan terhadap besarnya infiltrasi asing dalam objek vital bangsa.
Telekomunikasi adalah objek vital bangsa yang tidak usah dipertanyakan lagi. Karena menurut apa yang gue baca2, ada 4 objek vital suatu bangsa yang berpengaruh terhadap kemandirian bangsa tersebut. Pertambangan – Migas, Pendidikan, Pertanian/Perternakan dan Telekomunikasi.
Dan teman2 bisa melihat sejauh apa pengaruh asing terhadap objek2 vital ini di Indonesia. Dan sekarang gue sekedar sharing data yang gue dapat untuk objek vital telekomunikasi.
Perkembangan dunia telekomunikasi di Indonesia sudah mencapai tahap yang mengagumkan. Pada September 2006 data menunjukan bahwa pengguna Ponsel di Negeri ini sudah mencapai angka yang cukup fantastis. Pengguna Ponsel mencapai lebih dari 38 juta pelanggan atau sekitar 17,28 % dari keseluruhan jumlah penduduk Indonesia. Jumlah ini adalah jumlah mereka yang hanya menggunakan operator yang menyediakan layanan berbasis teknologi GSM (Global Satellite Mobile) belum ditambah lagi mereka yang menggunakan operator yang menyediakan layanan berbasis teknologi CDMA (Code Digital Multiple Access).
Tanpa ampun trend menggunakan Ponsel ini sudah merambah ke semua lapisan masyarakat dari semua golongan baik itu di daerah pedesaan maupun di kota-kota besar. Ponsel sudah menjadi semacam instrumen untuk menaikan status sosial dari seorang individu, bahkan banyak yang menjadikannya sebagai life style dengan alasan kebutuhan akan komunikasi dan informasi yang cepat. Tentunya hal ini adalah sesuatu yang positif dan bisa dipahami di satu sisi, tetapi apabila tidak diawasi dengan semestinya oleh pemerintah sebagai regulator sistem telekomunikasi di Indonesia ini, maka perkembangan dunia telekomunikasi ini akan menjadi boomerang yang memungkinkan terbukanya celah dalam sistem pertahanan dan keamanan negara.
Saya terngiang dengan kalimat “Asal masih GSM !†Hal inilah yang kemudian mendorong saya mengambil inisiatif lebih lanjut untuk menganalisis menggunakan pendekatan Potential Risk Assessment (PRA) dalam perspektif pertahanan.
Dalam teknologi telekomunikasi nirkabel, setiap modulasi yang terkirim dalam pelayanan kepada para pelanggannya pasti dalam keadaan encrypted dengan kode binary yang memang diciptakan khas, tidak mengikuti aturan umum sehingga tidak mudah dipecahkan. Jangankan untuk intercepting apalagi penyadapan, untuk mengakses server induknya saja pasti sudah sangat kesulitan. Kecuali ada yang “bermain†di balik itu semua, dengan memberikan key code binary untuk decryption sehingga memudahkan langkah decoding setiap modulasi. Saya mencoba melakukan deep study tentang dunia telekomunikasi di Indonesia ini khususnya operator seluler yang menggunakan teknologi berbasis GSM. Hasilnya cukup memuaskan saya, hipotesa saya terbukti.
Di Indonesia ini ada 3 operator seluler besar yang menggunakan teknologi berbasis GSM yaitu PT. Telekomunikasi Indonesia Seluler Tbk. (Telkomsel), PT. Indonesian Satellite Corporation Tbk. (Indosat), dan PT. Excelcomindo Pratama Tbk. (Pro XL). Kalau dilihat sekilas memang tidak ada yang salah dengan ketiga perusahaan itu. Tetapi ketika diselidiki lebih jauh Corporate Insight nya, maka akan ditemukan potensi terbukanya masalah national security ini. Berikut ini adalah data Biro Transaksi dan Lembaga Efek dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (BAPEPAM) per Oktober 2006 tentang komposisi pemegang saham dari 3 perusahaan telekomunikasi ini :
1. PT. Telekomunikasi Indonesia Seluler Tbk. (Telkomsel)
Singapore Telecom + publik asing : 37,86 %
Pemerintah Indonesia + publik Indonesia : 62,14 %
2. PT. Indonesian Satellite Corporation Tbk. (Indosat)
Singapore Technologies Telemedia Pte. Ltd. + publik asing : 86,62 %
Pemerintah Indonesia + publik Indonesia : 13, 38 %
3. PT. Excelcomindo Pratama Tbk. (Pro XL)
Telekom Malaysia Berhad + publik asing : 85,07 %
Telekomindo Primabhakti + publik Indonesia : 14,93 %
Lihat saja angka-angka tersebut. Wajar logikanya kalau saya mengatakan bahwa telekomunikasi di Indonesia sudah tidak “berbendera Merah Putih†lagi. Kalau boleh diambil rata-ratanya, maka kepemilikan asing akan saham perusahaan-perusahaan telekomunikasi di Indonesia mencapai angka 69,85 %. Kepemilikan saham yang hampir mencapai 70 % inilah celah keamanan yang tidak diperhatikan oleh aparat-aparat yang berkepentingan dalam hal ini.
Saya mencoba menyelidiki tentang perusahaan-perusahaan asing ini. Tentunya dimulai dari kepemilikan atas saham perusahaan-perusahaan tersebut. Saya meminta bantuan seorang teman di Singapore untuk melacak kepemilikan saham dari Singapore Telecom Inc. dan Singapore Technologies Telemedia Pte. Ltd. Hasilnya cukup lumayan untuk membuat saya curiga. Setengah dari saham perusahaan-perusahaan tersebut memang dimiliki oleh pemerintah Singapore, tetapi sebagian kecil yaitu sekitar 20 % lebih dimiliki oleh seorang Spekulan Valas Yahudi yang pernah mengacak-acak konstelasi perekonomian Asia Tenggara pada dekade 90-an. Dia adalah George Soros. Sekalipun tidak secara langsung, tetapi salah satu anak perusahaan dari Soros Corporation Holding Co. memiliki saham kedua perusahaan ini. Meskipun kepemilikan saham atas kedua perusahaan ini cukup kecil dibanding pemerintah Singapore, tetapi munculnya nama ini dalam deretan para pemegang saham Singapore Telekom Inc. dan Singapore Technologies Telemedia Pte. Ltd. cukup menimbulkan kecurigaan dalam benak saya terhadap setiap policy kedua perusahaan ini di Indonesia.
Kalau diselidiki lebih dalam lagi, maka komposisi saham yang sedemikian besar dari kedua perusahaan Singapore ini atas perusahaan-perusahaan telekomunikasi di Indonesia akan memberikan berbagai macam konsekuensi tersendiri di dalam manajemen perusahaan tersebut. Pihak pemilik saham yang lebih banyak akan menaruh orang-orangnya di dalam manajemen inti dengan porsi yang lebih banyak pula dalam perusahaan tersebut. Analoginya mirip partai politik yang memenangkan suara terbanyak sehingga memiliki banyak wakil di parlemen, demikian pula pemegang saham dan Dewan Komisaris di dalam sebuah perusahaan.
Orang-orang yang ditaruh di dalam manajemen inti sebuah perusahaan ini tentunya memiliki pengaruh besar dalam setiap policy dan keputusan-keputusan yang diambil perusahaan. Ekses negatif lainnya adalah, orang-orang yang duduk di manajemen inti inilah yang memegang banyak rahasia perusahaan termasuk sistem keamanannya.
Terlalu panjang kalau saya ceritakan di sini tentang latar belakang mereka satu persatu. Setidaknya ada beberapa orang dari mereka yang berasal dari Singapore yang bisa saya sebut di sini seperti Peter Seah Lim Huat, Lee Theng Kiat, Sio Tat Hiang, Sum Soon Lim, Lim Ah Doo, Ng Eng Ho, Joseph Chan Lam Seng, Raymond Tan Kim Meng, dan Wong Heang Tuck.
Dari closed source yang saya dapatkan, mengkonfirmasikan kebenaran hal tersebut. Ada kemungkinan mereka bukan hanya seorang businessman saja, bisa jadi Mossad Agent atau sekurang-kurangnya orang-orang binaan yang dimanfaatkan, karena harus diingat bahwa Singapore adalah sahabat karib Israel di Asia Tenggara. Tidak salah rasanya kalau saya menilai dari sinilah sumber kebocoran enskripsi telekomunikasi Indonesia.
Saya mencoba menarik benang merah yang merangkum semuanya. “Asal masih GSM, berita itu milik kami !†Saat ini saya tidak lagi terheran-heran kalau para Hulubalang Mossad (intel Israel – red ) mampu dengan mudah menyadap banyak informasi, ataupun pembicaraan-pembicaraan penting yang dilakukan melalui Ponsel berbasis teknologi GSM (saya tidak tahu bagaimana dengan nasib CDMA). Tapi saya ingin menekankan bahwa, bahkan orang paling bodoh di negeri ini pun akan tahu masa depan negeri ini kalau 17,28 % warga negaranya dimata-matai secara sistematis dan terorganisir oleh negara lain yang memang menghendaki kehancurannya. Anda tahu yang saya maksud. Saya menghimbau pada pemerintah dan semua komunitas intelijen yang ada, seriuslah dalam mengemban tugas negara. Kalau orang segoblok saya dengan ketrampilan, tenaga, dana, fasilitas, dan waktu yang terbatas saja masih bisa mendeteksi sampai sejauh ini meskipun tidak detail, apalagi kalian yang dibekali dengan pendidikan, pelatihan, dana, dan fasilitas yang memadai, harusnya bisa jauh lebih dalam dari ini semua. Kami sebagai warga negara ingin melihat hasilnya.
“Asal masih GSM, berita itu milik kami !†saya berharap statement mereka akan berubah menjadi “Kalau sudah GSM, berita itu bukan milik kami !â€
Berita ini mungkin cenderung memposisikan pihak Singapore – Israel sebagai infiltrant terbesar di Indonesia di bidang telekomunikasi. Namun yang gue tekankan dari informasi tersebut, bahwa sangat penting untuk memahami kondisi penguasaan asing terhadap Telekomunikasi Indonesia.
Bagaimana dengan Internet Provider? Sebagai info kuping ke kuping saja, beberapa provider besar Indonesia mengikat kontrak yang spektakuler dengan Provider Asing, bahkan sekarang sebuah warnet saja dapat dengan mudah memiliki ikatan kontrak dengan satelit Singapura dalam menjalankan bisnisnya. Belum lagi jika melihat perkembangan telekomunikasi nirkabel Indonesia yang saat ini booming dengan konsep GSM Mobile Connectivity, 3G dan akses Internet lewat GSM. Bukannya gue paranoid. Tetapi setidaknya menjadi perhatian bersama, dan sebagai bangsa yang berusaha untuk mandiri, seharusnya pemerintah bisa mengatur berbagai kebijakan yang vital terhadap telekomunikasi dan objek vital kita lainnya, istilah kerennya memproteksi.
Dengan angka rata2 penguasaan saham hampir 70%, bisa dikatakan kekuatan bangsa ini di bidang telekomunikasi sudah mengkhawatirkan. Tidak perlu bicara mengenai perang inteligen dalam masalah intercept – penyadapan (itu bukan urusan gue, ada yang bertanggung jawab disitu). Berbicara masalah aturan main dan regulasi-kebijakan saja, tentunya kita sudah kalah. Dalam konsep kapitalisme global, pemegang modal adalah penguasa, kebijakan – regulasi vital akan ditentukan oleh komisariat perusahaan. Dan untuk kondisi saat ini, dimana posisi Indonesia yang hanya memiliki 30% hak-nya?
Demikian informasi yang mau gue share buat teman2. Semoga menjadi bahan masukan berharga, betapa berharganya posisi telekomunikasi di Negara ini, dan seberapa parah para pengusaha Telekomunikasi kita melacurkan negerinya sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar